Sabtu, 30 April 2011

pemikiran ali syariati

PEMIKIRAN M. IQBAL DAN ALI SYARI’ATI
                                                                                                    



KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT, yang karena ridho dan rahmat-Nya, makalah sederhana tentang Studi Islam ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada  baginda Rasulullah SAW, yang senantiasa menjadi sumber rujukan setiap studi.

 Alhamdulillah atas limpahan nikmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Pemikiran Ali Syari’ati dan Muhammad Iqbal ini, yang diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam. Apa yang tertulis dalam makalah ini tidak lain hanyalah ikhtiar kami untuk menambah wawasan tentang Islam lebih khususnya para pemikir Islam, walaupun mungkin sangat sederhana dan normatif. Kami menyadari bahwa makalah ini sarat dengan kelemahan, kekurangan, dan mungkin juga kesalahan. Selanjutnya kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak  yang telah memberikan kontribusinya dalam penulisan makalah ini. Kepada Ibu Inayah Rohmaniyyah, S. Ag, M.Hum, M.A selaku dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam kami ucapkan banyak terimakasih atas curahan ilmunya.     

Pada akhirnya, tetaplah kesempurnaan itu milik Allah. Sehingga, meskipun masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, semoga apa yang terkandung di dalamnya tetap membawa manfaat yang dapat membawa kita pada Islam  yang sebenarnya, sebagai agama yang rahmatan lil’alamin.


                                                                         Yogyakarta, 27 Oktober 2010
                                                                 

                                                                             Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Studi Islam adalah suatu kajian tentang agama Islam yang sangat penting untuk di pelajari. Perkembangan Agama Islam yang begitu pesat, menuntut kita untuk mengetahui lebih luas lagi hakikat agama tersebut. Islam memanglah suatu agama yang tidak di ragukan lagi kebenarannya, tapi di balik kebenaran mutlak itu, terdapat banyak hal yang harus di kaji lebih mendalam, agar kebenaran mutlak itu tidak hanya sekedar kepercayaan yang tidak terbukti.
Diantara beberapa kajian tentang Islam tersebut, terdapat satu unsur yang sangat penting untuk di kaji lebih intensif. Diantaranya adalah Metodologi Studi Islam, yang menjadi dasar pengkajian studi islam selanjutnya. Tentang metodologi ini, banyak dari tokoh-tokoh Islam yang mengkajinya secara mendetail. Diantara tokoh-tokoh itu adalah Muhammad Iqbal, seorang filosof  Pakistan, dan Ali Syari’ati, seorang tokoh Islam  terkemuka dari Iran.
Makalah ini memuat beberapa aspek dari Metode Studi Islam yang di kembangkan oleh dua tokoh Islam tersebut. Dengan tersusunnya makalah ringan ini, di harapkan kita dapat mengetahui beberapa metode pendekatan yang di gunakan oleh para tokoh terkemuka Islam, khususnya metode yang di gunakan oleh Muhammad Iqbal dan Ali Syari’ati, sehingga kita dapat lebih mangenal lagi agama kita.
B.     Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain :
1.      Memperluas pengetahuan dan wawasan tentang para pemikir Islam khususnya Ali Syari’ati dan Muhammad Iqbal.
2.      Mengetahui biografi kedua pemikir tersebut dan pemikiran-pemikirannya tentang Islam.
3.      Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam.
C.    Rumusan Masalah
Secara garis besar pada  dasarnya terdapat beberapa rumusan masalah  yang tersusun dalam makalah  ini yakni antara lain  :
A.  Siapakah Ali Syari’ati dan Muhammad Iqbal itu ?
B.  Apa Saja Pokok-Pokok pemikiran Ali syari’ati dan Muhammad Iqbal tentang Islam?
C.  Bagaimana Pandangan para Ulama terhadap  Ali Syari’ati dan Muhammad Iqbal ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.    Ali Syari’ati
A.    Biografi Singkat Ali Syari’ati
Ali Syari’ati, anak pertama dari keluarga miskin Muhammad Taqi dan Zahra, dilahirkan pada 24 November 1933 di sebuah desa kecil di Kahak, sekitar 70 kilometer dari Sabzevar. Ia merupakan anak pertama sekaligus anak laki-laki satu-satunya dengan tiga saudara perempuannya, Tehereh, Tayebeh, dan Batul (Afsaneh).[1]
Pada masa kecilnya, Ali adalah anak yang pendiam, pemalu dan tidak mudah bersosialisasi. Dia lebih suka menyendiri memisahkan diri dari aktivitas teman-temannya. Dia anak yang  nakal dan sering bolos sekolah. Meskipun begitu ada hal yang patut di kagumi pada diri Ali, yakni dia adalah seorang kutu buku, bahkan selama tahun pertamanya di sekolah dasar dia telah mengenal koleksi perpustakaan ayahnya yang memiliki koleksi dua ribu buku.[2]  
Pada usia 17 tahun, Ali Syari’ati belajar pada sebuah lembaga pendidikan, Primary Teacher’s Training College. Pada usia 20 tahun, ia mendirikan organisasi Persatuan Pelajar Islam di Masyhad, Iran. Pada tahun 1958 (ketika berusia 25 tahun) ia meraih gelar sarjana muda dalam ilmu bahasa Arab dan Perancis. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Sorbonne, Paris, setelah berhasil memenangkan beasiswa untuk belajar di negara itu. Ia belajar di Perancis sampai meraih gelar doktor pada tahun 1963.
Setahun kemudian, ia pulang ke negara kelahirannya. Setibanya di Iran, ia mengawali langkahnya dengan menyampaikan ilmu yang diperolehnya dari berbagai sekolah dan akademi. Kemudian ia mengadakan perjalanan keliling dalam rangka mendirikan Husyaimiah Irsyad, sebuah lembaga pendidikan pengkajian Islam yang kelak menjadi wadah pembinaan kader militan pemuda-pemuda    revolusioner.
              Karena aktivitas politiknya yang menentang kediktatoran Syah Iran, Ali Syari’ati mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Ia sudah harus menjalani kehidupan di belakang terali besi dalam usia muda. Namun, hal tersebut tidak membuatnya mundur. Periode kedua tahun 1960-an, Ali Syari’ati bergabung dengan Universitas Masyhad. Kuliah-kuliahnya di masjid kampus ini sangat diminati oleh sejumlah besar mahasiswa. Karena ada kekhawatiran akan meningkatnya pengaruh Ali Syari’ati, pada tahun 1968 pemerintah Iran memaksanya menjalani masa pensiun pada usia yang relatif masih muda yaitu 25 tahun. Walaupun demikian, ia tetap sering berceramah di berbagai perguruan tinggi dan masjid di kota-kota besar Iran. Kuliah-kuliahnya yang simpatik dan berbobot menimbulkan kepercayaan diri bagi jutaan muslimin di Iran. Sejumlah intelektual Islam, para mahasiswa, dan masyarakat Iran tertarik kembali untuk mengkaji Islam yang memberikan potensi besar dalam upaya memberi makna bagi kehidupan pribadi dan nasib bangsa.
              Ali Syari’ati adalah seorang orator luar biasa, lidahnya setajam penanya. Dengan kelihaiannya, kampus dan masjid-masjid di Iran menjadi pusat kegiatan organisasi revolusioner. Ia juga tampil memimpin perlawanan terhadap pemerintahan Syah Iran. Oleh karena aktivitas politiknya, pada tahun 1974, Ali Syari’ati ditangkap. Ia kemudian menjalani tahanan rumah sampai tahun 1977.
Pada bulan Mei 1977, ia terpaksa meninggalkan Iran menuju Inggris untuk menghindarkan diri dari kejaran penguasa. Namun, rezim Syah tidak mengizinkannya ke luar negeri untuk berbicara serta menulis secara bebas, serta menawan istri dan anak Ali Syari’ati. Tidak lama setelah itu, tepatnya tanggal 21 Juni 1977, Ali Syari’ati ditemukan tewas di rumah kerabatnya di Southampton, Inggris.
Meskipun berita resmi menyatakan bahwa ia terkena serangan jantung, namun banyak orang percaya bahwa ia diracuni oleh agen rahasia pemerintah Iran. Jenazahnya kemudian di kebumikan di Damaskus, Suriah. Setahun setelah kematian Ali Syari’ati, Dinasti Pahlevi runtuh dan lahirlah Republik Islam Iran pada 16 Januari 1979. Ia dinilai memainkan peran penting menjelang Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah Ruhullah Khomeini pada tahun 1978, yang melahirkan berdirinya Republika Islam Iran.
B.     Pokok-Pokok Pemikiran Ali Syariati
1.      Metode Dalam Memahami Agama Islam
a.       Metode Komparasi
Membandingkan agama Islam dengan agama lain antara ajaran dalam al-Qur,an dengan ajaran di kitab suci lainnya, antara pribadi Rasulullah dengan tokoh besar yang lain yangb bertujuan untuk menemukan perbedaan yang menjadi ciri khas agama Islam.
b.      Pendekatan Aliran
Sesuai dengan bidang masing-masing Islam mengandung berbagai aspek sehingga dapat difahami dengan berbagai perspektif
2.      Islam Agama Pembebasan[3]
              Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman mainstream saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn). Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.
Islam dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan. Dia berpendapat :
" Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam. Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlîd) kepada ulama" .
Syari'ati juga mengatakan masyarakat Islam sejati tak mengenal kelas. Islam menjadi sarana bagi orang-orang yang tercerabut haknya, yang tersisa, lapar, tertindas, dan terdiskriminasi, untuk membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu. Syariati mendasarkan Islamnya pada kerangka ideologis. Dia memahami Islam sebagai kekuatan revolusioner untuk melawan segala bentuk tirani, penindasan, dan ketidakadilan menuju persamaan tanpa kelas. Syari'ati bahkan mencetuskan formula baru:’’Saya memberontak maka saya ada’’.
Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner. Tetapi entah mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.
Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar keduanya hampir sama yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (Ulama, Gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan riil umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat.
              Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.
Seperti yang telah disebut di muka, Syari’ati "menuduh" ulama sebagai sumber utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama, Islam telah menjadi agama "orang mati" yang tidak berdaya melawan "orang-orang yang serakah".
C.    Pandangan Para Ulama terhadap Ali Syari’ati[4]
Kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.
Selain Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati. Kaum ulama tradisional juga memandang Syari’ati sebagai fokoli (orang  berdasi) berpendidikan barat yang arogan yang sedang mengajarkan Islam berdasarkan atas pendidikannya di universitas-universitas luar negeri.[5]       
Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagai akhund, Syari’ati lantas menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal, secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya sendiri dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr (dihukum mati oleh pemerintah Republik Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni seperti al-Afghani sebagai idolanya. Khomaeni tentu saja cocok dengan kerangka Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah menyatakan perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai pemimpin besar.

2. Muhammad Iqbal
A.    Biografi Singkat Muhammad Iqbal[6]  
Dr. Sir Muhammad Iqbal lahir di sebuah kota bernama Sialkot, sebuah kota peninggalan Dinasti Mughal India pada tanggal 22 Februari 1873. Ayahandanya Syaikh Nur Muhammad memiliki kedekatan dengan kalangan Sufi. Karena kesalehan dan kecerdasannya, penjahit yang cukup berhasil ini dikenal memiliki perasaan mistis yang dalam serta rasa keingintahuan ilmiah yang tinggi. Tak heran, jika Nur Muhammad dijuluki kawan-kawannya dengan sebutan "Sang Filosof tanpa guru" (un parh  falsafi).[7]
Ibunda Iqbal, Imam Bibi, juga dikenal sangat relegius. Ia membekali kelima anaknya, tiga putri dan dua putra, dengan pendidikan dasar dan disiplin keislaman yang kuat. Di bawah bimbingan kedua orangtuanya yang taat inilah Iqbal tumbuh dan dibesarkan. Kelak di kemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa pandangan dunianya tidaklah dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi dari kedua orangtuanya tersebut.
Pada tahun 1895 ia pergi ke Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni. Di kota ini ia bergabung dengan perhimpunan sastrawan yang sering diundang musyara'ah, yakni pertemuan-pertemuan di mana para penyair membacakan sajak-sajaknya. Ini merupakan tradisi yang masih berkembang di Pakistan dan India hingga kini. Di kota Lahore ini, sambil melanjutkan pendidikan sarjananya ia mengajar filsafat di Government College. Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold—orientalis Inggris yang terkenal—yang mengajarkan filsafat Islam di College tersebut. Antara keduanya terjalin kedekatan melebihi hubungan guru dan murid, sebagaimana tertuang dalam sajaknya Bang-I Dara.[8]
 Dengan dorongan dan dukungan dari Arnold, Iqbal menjadi terkenal sebagai salah satu pengajar yang berbakat dan penyair di Lahore. Sajak-sajaknya banyak diminati orang. Pada tahun 1905, ia belajar di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang spesialis dalam sufisme, dan seorang Neo-Hegelian, yaitu Jhon M.E.McTaggart. Iqbal kemudian belajar di Heidilberg dan Munich. Di Munich ia menyelesaikan doktornya pada tahun 1908 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persian (disertasi ini kemudian diterbitkan di London dalam bentuk buku, dan dihadiahkan Iqbal kepada gurunya, Sir Thomas Arnold). Setelah mendapatkan gelar doktor, ia kembali ke London untuk belajar di bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas London. Selama di Eropa Iqbal tidak pernah bosan menemui para ilmuwan untuk mengadakan berbagai perbincangan tentang persoalan-persoalan keilmuan dan kefilsafatan. Ia juga memperbincangkan Islam dan peradabannya. Di samping itu Iqbal memberikan ceramah dalam berbagai kesempatan tentang Islam. Isi ceramahnya tersebut dipublikasikan dalam berbagai penerbitan surat kabar. Ternyata setelah menyaksikan langsung dan mengkaji kebudayaan Barat, ia tidak terpesona oleh gemerlapan dan daya pikat kebudayaan tersebut. Iqbal tetap concern pada budaya dan kepercayaannya.
Iqbal adalah filosof Muslim yang banyak dipengaruhi oleh banyak filosof Barat seperti Thomas Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel dan masih banyak lagi yang lainnya.[9] Di antara sekian banyak filosof, menurut Donny Gahral, Nietzsche dan Bergsonlah yang paling banyak mempengaruhi Iqbal.
Nietzsche dan Bergson sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya tentang hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi. Manusia sebagai kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir sebagai rencana Tuhan terhadap manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan. Namun semangat relegius Iqbal menyelamatkannya dari sikap atheisme yang dianut Nitzsche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia.
Iqbal juga menolak konsep Nitzsche maupun Bergson tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia berkehendak, namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan oleh manusia sendiri melainkan oleh takdir atau hukum evolusionistik.
  Diantara karya-karya Muhammad Iqbal adalah Asrar-i Khudi (Rahasia Pribadi), (1915), Bang-i Dara (Seruan dari Perjalanan), (1924), The Recunstruction of Relegious Thought in Islam, (1930),  Payam-i Masyriq (Pesan dari Timur), (1923) dll.
B. Pokok-Pokok Pemikiran Muhammad  Iqbal[10]
  1. Filsafat Ego atau Khudi
  Konsep tentang hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat Iqbal, dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Masalah ini dibahas dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa Persia dengan bentuk matsnawi berjudul Asrar-i Khudi; kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dan dalam kumpulan ceramah yang kemudian dibukukan dengan judul The Reconstruction of Relegious Thought in Islam.[11]
Menurut Iqbal, khudi, arti harfiahnya ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, merupakan suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional, menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis yang melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai-berai dari organisme yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif. Iqbal menerangkan bahwa khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan  kehidupan. Hal ini tercantum pada beberapa matsnawinya dalam Asrar-i Khudi.
Bentuk kejadian ialah akibat dari khudi
Apa saja yang kaulihat ialah rahasia khudi
Dijelmakannya alam cita dan pikian murni
Apa guna wujudmu melainkan untuk mengembangkan dayamu?
Kalau kau perkuat dirimu dengan khudi
Kau akan pecahkan dunia sesuka khudimu;
Jika kau hendak hidup, isilah dirimu dengan khudi
Apakah mati sebenarnya? Melepaskan semua khudi
            Kenapa berkhayal itulah terpisahnya roh dari tubuh
Bermukimlah dalam khudi, penaka Yusuf
Majulah dari rebutan yang satu ke rebutan yang lain
Pikirkanlah khudimu dan jadilah beraksi
           Jadilah manusia-Tuhan, kandunglah rahasia dalammu.
 Ego bagi Iqbal adalah kausalitas pribadi yang bebas. Ia mengambil bagian dalam kehidupan dan kebebasan Ego mutlak. Sementara itu, aliran kausalitas dari alam mengalir ke dalam ego dan dari ego ke alam. Karena itu, ego dihidupkan oleh ketegangan interaktif dengan lingkungan. Dalam keadaan inilah Ego Mutlak membiarkan munculnya ego relatif yang sanggup berprakarsa sendiri dan membatasi kebebasan ini atas kemauan bebasnya sendiri. Menurut Iqbal, nasib sesuatu tidak ditentukan oleh sesuatu yang bekerja di luar. Takdir adalah pencapaian batin oleh sesuatu, yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat direalisasikan yang terletak pada kedalaman sifatnya.
Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertarikan, sedangkan yang memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego maka setiap individu mesti menjalani tiga tahap. Pertama, setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum ilahiah. Kedua, belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada dunia. Ketiga, menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil).
  1. Filsafat Ketuhanan
  Tuhan sebagai objek kajian metafisika memiliki kekhususan dibanding kedua objek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indra, maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak ditangkap indra.
Metafisika yang mengkaji tentang Tuhan disebut filsafat ketuhanan (teologi naturalis) untuk membedakannya dari teologi adikodrati atau teologi wahyu. Apabila filsafat ketuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh pengkajiannya, maka teologi wahyu sebagai titik awal pembahasannya.
Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggarisbawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontigen tidak dapat dipahami akal.
Paling tidak, terdapat tiga argumen besar dalam filsafat ketuhanan: argumen kosmologis, argumen teologis, dan argumen ontologis. Argumen kosmologis mengemukakan bahwa Tuhan harus ada, karena kalau tidak maka akan ada rangkaian kausalitas yang tak terhingga untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa. Argumen teologis mengemukakan bahwa dari struktur finalitas realitas dapat ditariik kesimpulan adanya Sang Pencipta yang menetapkan struktur tersebut. Sedangkan argumen ontologis mengemukakan bahwa Tuhan ada karena kita memikirkannya dan memprediksikan eksistensi terhadap Dirinya.[12]
Iqbal secara tegas menolak argumen-argumen para filosof skolastik tersebut. Baginya argumen-argumen ini telah menemui kegagalan. Di samping tampak sebagai suatu interpretasi pengalaman yang dibuat-dibuat, menurutnya argumen-argumen itu mengundang pula kesesatan logis. Iqbal mengungkapkan bahwa di antara penyebab kegagalan argumen-argumen ini adalah karena dipaksakannya dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara pikiran dan wujud (being). Padahal dalam argumen-argumen itu sendiri sesungguhnya telah tersirat bahwa pikiran dan wujud pada akhirnya merupakan satu kesatuan.
Iqbal sepakat dengan Kant bahwa rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui hakikat Tuhan. Namun keterbatasan rasio tidak menjadikan Iqbal seorang skeptis seperti Kant, ia tetap meyakini bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang Tuhan secara langsung melalui proses intuisi dalam pengalaman relegius. Dalam hal ini konsep intuisi Iqbal berbeda dengan konsep intuisi kaum mistikus. Apabila kaum mistikus menekankan kontak langsung dengan Tuhan lewat proses intuisi, Iqbal menolaknya dengan mengatakan bahwa apa yang pertama-pertama tersingkap secara kuat lewat intuisi adalah keberadaan ego atau diri yang kreatif dan bebas.
Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda dengan filsafat ketuhanan kontemplatif karena Iqbal berangkat dari filsafat manusia yang menekankan pengetahuan langsung tentang keberadaan ego atau diri yang bebas-kreatif.
Metafisika gerak Iqbal mengemukakan bahwa manusia bukanlah benda statis tetapi suatu aktivitas gerak dinamis-kreatif yang terus merindu akan kesempurnaan. Hidup keberagamaan sendiri menurut Iqbal adalah suatu proses evolusi yang dapat dibagi menjadi tiga tahap, iman, pemikiran dan penemuan. Pada tahap pertama yaitu tahap iman kita menerima apa yang difirmankan Tuhan tanpa keraguan sedikitpun. Pendeknya segala sesuatu yang berasal dari Tuhan adalah mutlak benar karena berasal dari Tuhan dan bukan konstruksi manusia. Pada tahap kedua yaitu tahap pemikiran. Kita tidak sekadar menaati secara buta firman Tuhan melainkan mulai memikirkan maksud dari firman tersebut atau singkatnya kita mencoba memahami secara rasional apa yang kita percayai.[13] Dan pada tahap terakhir yaitu tahap penemuan kita mencapai kontak langsung dengan realitas ultim yang merupakan sumber semua hukum dan kenyataan.[14]
Menurut Iqbal agama bukan sekadar sekumpulan ajaran untuk menekan aktivitas nafsu instingtif manusia (agama sebagai instrumen moral) seperti diklaim para psikoanalisis (Freud, Jung). Bagi Iqbal, agama lebih dari sekadar etika yang berfungsi membuat orang terkendali secara moral. Fungsi sesungguhnya adalah mendorong proses evolusi ego manusia di mana etika dan pengendalian diri menurut Iqbal hanyalah tahap awal dari keseluruhan perkembangan ego manusia yang selalu mendampakan kesempurnaan. Dengan kata lain, agama justru mengintegrasikan kembali kekuatan-kekuatan pribadi seseorang.
  1. Pandangan Ulama Terhadap Muhammad Iqbal
   Pena lebih tajam dari pedang. Tak diragukan lagi pengaruh pena Iqbal dalam khazanah pemikiran Islam luar biasa besarnya. Tak hanya dunia Timur-Islam, tetapi juga Timur-non Islam dan Barat. Kejeniusannya dalam memadukan syair dan filsafat ditambah lagi sikap relegiusnya yang mendalam telah menimbulkan decak kagum para filosof dan penyair di berbagai belahan dunia. Tak hanya itu, Iqbal juga telah melakukan sintesis pemikiran Timur dan Barat dengan kekhasan yang belum ada bandingnya.
Tanggapannya terhadap pemikiran Barat mengajarkan umat Islam untuk tidak berapologi atau mencaci maki setiap bersentuhan dengan khazanah Barat. Sikap yang baik adalah memanfaatkan apa-apa yang baik dari khazanah Barat untuk merekonstruksi Islam dan kemajuannya. Terbukti Iqbal banyak terpengaruh para filosof Barat seperti Nitzsche atau Henry Bergson. Walaupun Iqbal sebagian menolak konsep mereka tentang moralitas, juga tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan.
BAB III
KESIMPULAN
1.      Ali Syari’ati
Selain Ayatullah Ruhollah Khomeini, Iran juga memiliki tokoh besar yang amat berpengaruh khususnya di kalangan intelektual muda, dalam memobilisasi perlawanan terhadap Syah Iran. Tokoh itu bernama Ali Syari’ati. Ia merupakan seorang pemikir sosial terkemuka Iran abad ke-20.Di samping juga seorang ahli politik dan ahli syariat.              
            Ali Syari’ati lahir 23 November 1933, di desa Maziman, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, Propinsi Khorasan, Iran. Desanya berada di tepi gurun pasir Dasht I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran. Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemekaman Imam Ali Al-Ridha(w 818), Imam ke delapan dari kepercayaan Islam Syi’ah.
Kehidupan Syari’ati berakar di pedesaan. Di sanalah seperti ditulisnya dalam otobiografinya pandangan dunia Syari’ati pertama kali dibentuk. Dia begitu bangga akan leluhurnya, yang merupakan ulama-ulama terkemuka di masanya dan mereka memilih menyepi di gurun Kavir.
Guru pertama Syari’ati adalah Taqi Syari’ati, ayahnya sendiri, yang memutuskan untuk mengajar di kota Mashyad, dan tidak kembali ke desanya seperti tradisi leluhurnya.Sang ayah adalah ulama yang berbeda dari ulama tradisional. Sang ayah ini mempunyai perpustakaan lengkap dan besar yang selalu di kenang Syari’ati, yang secara metaforis dilukiskan sebagai mata air yang terus menyinari pikiran dan jiwanya.Di masa kecilnya ini, Syari’ati gemar membaca di perpustakaan ayahnya yang besar. Bahan bacaannya antara lain Les Miserables (Victor Hugo), buku tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great Philosophies terjemahan Ahmad Aram Syari’atikecil juga mulai menyukai filsafat dan mistisme sejak tahun-tahun pertamanya disekolah menengah.
Kombinasi sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan membela ketidakadilan ini sedikit membentuk semangat intelektual yang juga aktivis politik revolusioner. Dan dia pula, Syari’ati menyerap pandagan tentang konstruksi sosiologis Marx, khususnya banalisa tentang kelas social dan truisme (itsar). Syari’ati mengaku lebih banyak dipengaruhi Massigmon, George Gurvich, Jean-Paul Sartre, dan Franz Fanon. Ketika berada di Perancis, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan sekaligus memperbudak pemikiran pelajar Iran.
Modernisasi dari atas dan sentralisasi kekuasaan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan represi brutal terhadap mereka yang menentang, menjadi cirri utama rezim kekuasaan Reza Syah. Modernisasi dan Industrialisasi yang dijalankan pada dasarnya berkiblat pada Negara-negara di Eropa Barat.
Dia melihat adanya proses pembaratan total yang membentuk Eropanoid. Dari sini muncul pemikirannya yang memetakan intelektual menjadi Intelektual Islam yang meniru, dan ‘intelektual sejati’ yang mengikuti tradisi para nabi dan menyadarkan umatnya sekaligus punya tanggung jawab dan misi social. Syari’ati juga berusaha memecahkan masalah yang dihadapi Kaum Muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada tanggal 18 Juni, Pouran, istri Syari’ati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London. Tetapi, kali ini pihak berwenang menolak mengizinkan Pouran dan Mona, anaknya yang berusia 6 tahun, untuk meninggalkan Iran. Tetapi Soosan dan Sara, dua anak lainnya, diperbolehkan. Begitu keduanya tiba di Heathrow, Syari’ati menjemputnya dan membawa mereka ke sebuah rumah yang telah disewa di daerah Southampton, Inggris.
Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iaran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Kematiannya menjadi mitos "Islam Militan" Popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, Fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.

2.      Dr. Muhammad Iqbal

  Dr. muhammad Iqbal adalah salah seorang tokoh abad ke-20 yang menjadi kebanggaan dunia islam, dulu, kini dan akan datang. Beliau telah memberikan sumbangan besar pada dunia islam bahkan dunia internasional, Tokoh yang berasal dari Pakistan ini selain terkenal sebagai penyair besar dalam peradaban dunia sastra islam juga terkenal sebagai pemikir, filosof, ahli perundang-undangan, reformis, politikus, ahli kebudayaan dan pendidikan.
Kalau kita perhatikan karya-karyanya yang dituangkan dalam syair-syair dan puisinya dapat kita tangkap beliau tidak hanya menyerukan rasa hatinya dalam pembentukan atau kemerdekaan negara Pakistan dari tangan penjajah, tetapi juga tentang kegemilangan zaman islam di Spanyol, mengenai nasib Umat islam seperti faktor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran umat islam dan faktor-faktor yang mendorong kebangkitan umat islam, beliau juga menyinggung tentang keburukan dan kebaikan budaya barat dan sebagainya. Dr.Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Wilayah Punjab (pakistan barat) pada tahun 1877.
Muhammad Iqbal berasal dari keluarga Brahma Kashmir, tetapi nenek moyang Muhammad Iqbal telah memeluk islam 200 tahun sebelum Ia dilahirkan. Ayah muhammad Iqbal, Nur Muhammad adalah penganut islam yang taat dan cenderung ke pada ilmu tasawuf. Dengan lingkungan dan asuhan yang ada dalam rumah muhammad Iqbal, sedikit banyak telah menanamkan roh islam dalam jiwa Muhammad Iqbal, Ia masuk sekolah dasar dan menengah di Sialkot.
Di samping menyuarakan pembentukan negara Islam Pakistan, Iqbal juga menyeru kepada kebangkitan dan mempererat persaudaraan Islam sedunia. Bagaimanapun sebagai seorang yang dilahirkan di Timur, Iqbal tetap mempertahankan dan menyanjung kebudayaan dan keperibadian Timur yang halus, tinggi dan indah. Tentunya termasuk dalam arti kata Timur itu ialah hasil budaya masyarakat benua kecil India. Terbentuknya negara islam Pakistan sebagaimana yang diasaskan Muhammad Iqbal dapat tercapai pada tahun 1947 setelah beliau meninggal dunia.
              Dalam mencari konsep sastra Islam, jelas bahwa Muhammad Iqbal adalah salah seorang tokoh besar yang dapat menjadi contoh. Iqbal tidak hanya semata-mata kepunyaan Pakistan, tetapi juga kepunyaan seluruh dunia Islam. Semakin dunia sadar akan kemurnian Islam, semakin terasa kebenaran pendapat dan falsafah Iqbal yang terpancar melalui syair-syairnya dan terasa dekatnya Iqbal itu dengan diri kita. Rahasia kejayaan dan kekuatan Iqbal bersumber pada Al-Qura'an dan al-Sunnah yaitu dua sumber besar yang terbukti mampu merubah dunia dan telah disaksikan sepanjang sejarah manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Rahnema, Ali. Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner. Jakarta : Erlangga.2002
Adian, Donny Gahral. Muhammad Iqbal. Bandung : Teraju. 2003
Iqbal, Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam.     Yogyakarta : Lazuardi. 2002
Khan, Asif Iqbal. Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran Iqbal. Yogyakarta : Fajar Pustaka. 2002
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama. 1999
dunia.pelajar-islam.or.id/.../islam-agama-pembebasan-ali-syariati.html
 untunx83.multiply.com/.../Biografi_Muhammad_Iqbal



[1] Ali Rahnema, Ali Syari’ati biografi politik intelektual revolusioner, terjemah Dien wahid, dkk.(Jakarta,Erlangga,2002),hlm.53
[2] Ibid,hlm.58
[3] Lihat dunia.pelajar-islam.or.id/.../islam-agama-pembebasan-ali-syariati.html
[4] Lihat dunia.pelajar-islam.or.id/.../islam-agama-pembebasan-ali-syariati.html
[5] Ibid,hlm.415
[6] Lihat untunx83.multiply.com/.../Biografi_Muhammad_Iqbal
[7] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal, (Bandung: Teraju),.24
[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama),182
[9] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal, (Bandung: Teraju),hlm.34
[10] Lihat untunx83.multiply.com/.../Biografi_Muhammad_Iqbal
[11] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama),hlm.185
[12] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama),185
[13] Thomas Aquinas, seorang teolog-filosof termasyhur Abad Pertengahan, mengemukakan suatu diktum berbunyi: fides quaerit intelectum atau iman mencari penjelasan rasional.

[14] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal, (Bandung: Teraju),hlm.94

2 komentar:

  1. jogja...
    Telah kubaca uraianmu tentang Shahid Ali Syari'ati Iran dan Muhammad Iqbal dari India. Kesimpulan saya dari uraian anda itu sama sebagaimana yang telah kuketahui tentang Syari'ati dan Iqbal. Dari itu izinkanlah blog anda saya hubungkan dengan blog saya, Achehkarbala agar pembaca bertambah khazanah agamanya dan wawasan berpikir dari kedua rausyanfikr ini. (hsndwsp, Acheh - Sumatra)

    BalasHapus
  2. permisi aku copy makalahnya yah ^_^

    BalasHapus